JUMLAH PENGUNJUNG

Kamis, 19 Januari 2012

Kerbau-kerbau Rawa dari Danau Panggang

KOMPAS/DEFRI WERDIONO Belasan kerbau rawa bersiap masuk ke kandang yang berada di tengah rawa-rawa, di kawasan Kecamatan Danau Panggang. Selama ini kerbau rawa dikenal sebagai salah potensi kehidupan asli daerah ini.

Defri Werdiono

KOMPAS.com - Di tepian Sungai Paminggir yang menyatu dengan rawa Danau Panggang, kerbau-kerbau berenang. Puluhan lainnya bergerombol di dekat pepohonan rindang. Namun air rawa—habitat hidup Bubalus bubalis, kerbau khas Kalimantan Selatan itu—sejak lima tahun terakhir telah berubah jadi ancaman baru, seiring fenomena climate change, perubahan iklim sejagat raya.
Inilah perubahan peternakan kerbau yang terjadi di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sembari berenang, kerbau dengan ukuran bervariasi itu asyik memamahbiak, mengunyah rumput padihiyang yang tumbuh di sela-sela eceng gondok dan tumbuhan air lainnya.
Giginya yang kokoh memotong rapi batang-batang padihiyang yang hampir menyerupai tanaman padi namun agak besar itu.
Terkadang moncongnya masuk ke air untuk mengais ujung rumput yang belum lama terendam. Sementara dari kejauhan dua orang penggembala hanya mengamati dari atas jukung (perahu kecil) sambil sesekali menggoyangkan tongkat guna mengarahkan kerbau yang keluar dari gerombolan.
Jika rerumputan yang ada di lokasi habis, kerbau-kerbau yang memiliki berat daging hingga 100 kilogram dengan warna kulit dewasa coklat kehitaman ini akan bergeser ke tempat lain. Mereka terus begitu sambil berenang dengan bagian kepala dan sebagian punggung tampak di permukaan air.
Dari pengamatan Kompas dengan cara menyusuri sungai—yang menjadi satu-satunya jalur transportasi di tempat itu—keberadaan kerbau rawa ternyata tidak selalu bergerombol dalam kawanan kecil beranggotakan belasan hingga puluhan ekor. Ada juga kerbau yang terdiam sendirian. Kemungkinan, ia terpisah dari kawanannya.
Berbeda dengan kerbau darat, kerbau rawa menghabiskan hampir semua waktu hidupnya di rawa. Mereka hanya naik ke kandang menjelang senja, dan akan kembali turun ke air begitu matahari terbit. Seperti halnya tempat mencari makan, kandang kerbau rawa juga berada di rawa. Lokasi kandang jauh dari perkampungan penduduk yang biasanya berupa rumah panggung dan lanting (rumah apung).
Jarak antarkandang satu dan lainnya berjauhan. Tidak jarang, kerbau-kerbau ini pulang ke kandang tanpa dikawal oleh pemilik atau penggembalanya. Kerbau rawa itu seolah sudah hafal di mana lokasi kandangnya yang terbuat dari batang-batang kayu yang disusun tumpang tindih.
Populasi kerbau rawa di Kalimantan Selatan diperkirakan lebih dari 40.000 ekor. Dari jumlah tersebut, sebagian besar hidup di daerah Danau Panggang, seperti Desa Paminggir, Paminggir Seberang, Ambahai, Bararawa, Pal Batu, dan Sampala, yang kesemuanya berada di Kecamatan Paminggir.
Memelihara kerbau menjadi pekerjaan pokok sebagian besar masyarakat selain mencari ikan. Satu ekor kerbau rawa dewasa dijual seharga Rp 9 juta hingga Rp 10 juta. Menurut masyarakat, kerbau-kerbau ini sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Mereka mendapatkan kerbau dengan cara diwariskan untuk kemudian dikembangbiakkan hingga saat ini.
Alif, salah satu warga Desa Ambahai, yang memiliki 40 ekor kerbau menuturkan populasi kerbau terus berkembang. Sayangnya, beberapa tahun terakhir mereka menghadapi ancaman banjir yang merendam padihiyang. Akibatnya, kerbau-kerbau menjadi kelaparan. ”Kalau kerbaunya dari dulu bisa berenang. Tapi banjir telah membuat makanan kerbau terendam. Akibatnya kerbau kelaparan, dan ada yang mati,” ujarnya.
Jika padihiyang terendam, kerbau-kerbau—yang memiliki tanda sayatan di daun telingga sebagai penanda kepemilikan ini—hanya mengandalkan dedaunan pohon rawa, hingga kulit kayu. Padahal di satu sisi, jumlah pepohonan tidak begitu dominan di rawa. Keberadaannya juga tidak sebanding dengan jumlah kerbau.
Nuraidi, Kepala Desa Ambahai, memiliki 100 ekor kerbau. Salah satu solusi saat banjir adalah membawa kerbau ke daerah lain yang permukaan airnya lebih dangkal. Dengan begitu, kerbau masih bisa menemukan rumput yang belum tenggelam. Dalam kondisi normal kedalaman rawa 1-1,5 meter. Sementara kondisi air Sungai Paminggir yang melintas di wilayah itu dalamnya hingga tiga meter. Pemicunya, karena kondisi hujan di Kalsel, terutama Danau Panggang, memang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir.
Bahruddin, Ketua Koperasi Serba Usaha Bina Bersama Paminggir, menunjukkan bekas permukaan banjir di salah satu rumah tetangganya yang terbuat dari kayu. Ketinggian permukaan air di atas 40 sentimeter dari permukaan lantai rumah panggung.
Berbeda dengan kondisi banjir di Jawa yang cepat surut dalam hitungan hari, di daerah rawa banjir berlangsung berminggu-minggu. Tahun lalu misalnya, banjir berlangsung 5 bulan; 2,5 bulan air naik, dan 2,5 bulan sisanya masa air surut.
Ancaman terhadap rumput makanan ternak oleh banjir, ternyata tak hanya terjadi di Danau Panggang. Dua bulan lalu, puluhan sapi di daerah Rantau Bujur, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, juga mati akibat banjir. Sapi-sapi mati akibat kurang makan karena rumput terendam banjir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar